Wednesday

Gravitasi.




Kamu tahu, aku lesu terpekur di sudut kamar. Tatapku melayang di antara langit-langit asbes, tak ada siapa disana. Hanya aku. Aku yang menarik kalut ditarik haru oleh mimpi. Aku tahu, aku sedang bermimpi, kawan.

Kamu tahu, guru SD-ku pernah bilang, apel yang matang akan jatuh dari pohonnya. Teori belaka, mungkin dia tak pernah lihat nyata. Toh, bukan selalu itu yang buat apel jatuh. Bagaimana kalau burung pelatuk melambung ke arahnya tanpa ampun? Bagaimana kalau hujan deras menyapu ayunannya penuh beringas? Entahlah, aku memang tengah bermimpi, kawan.

Kamu tahu, aku kunjung menatapmu dari jauh. Dari puluhan kilometer aspal membelah landai, hingga ratusan langkah detik mengayuh terburai. Gelas-gelas teh hangat yang disajikan Bunda, pun lantunan celoteh matahari yang terbenam bersama pulang. Dan kini, sejak aku tak tahu sekedar untuk bilang: hai, aku rindu, sunyi menjelma bagai hal terbising yang pernah aku dengar. Ya, kamu benar, aku masih bermimpi, kawan.

Aku tak hendak menyebut kita. Aku yang terbuang di luar poros gravitasi, kamu pula begitu. Ada kalanya ia buat kita mendekat berjarak nafas, ada kalanya ia buat kita melebar berbatas asa. Aku dan kamu yang terombang-ambing tanpa jangkar penahan, seolah lepas terkoyak angin terhempas badai. Bukan pijakan yang kita tuju, hanya sebuah titik maya beralas imajinasi. Ada selayar papan buram disana, tergoreskan tinta bergurat suram. Sayang, hanya aku yang masih berpura.

Bukankah aku sudah bilang, aku sedang bermimpi?