Ini bukan puisi cinta mendayu-dayu. Bukan pula lirik-lirik galau sebuah lagu. Tak ada jawaban ambigu, hanya saja sudah berlalu. Ini pilu yang hanyut terbenam biru.
Ironis.
Ada yang terdiam di sela tangis. Ada yang membisu berdarah teriris. Ada yang hening ditelan miris. Entah apa namanya, mungkin tragis. Seolah langit berhenti bernyanyi menyesali awan gelap yang terganti gerimis. Bukan, ini bukan retoris.
Ini kisah tentang sebuah senja, sehabis hujan di bulan Desember.
Tak ada pelangi, hanya daun-daun basah tergeletak sunyi di sudut lapangan persegi. Di tempatmu berdiri, di tempatku sendiri. Yang ada memang kita namun tiada berbunyi. Aku telah pasi meratapi punggungmu yang beranjak pergi. Cukuplah sudah berelegi, kini hujan kunjung henti. Hanya raga kita saling bertepi, tak berarti sama rasa dalam hati. Perih dan letih begini aku benci.
Namun bias, kepingan ini masih terus menanti.
Ironis.
Ada yang terdiam di sela tangis. Ada yang membisu berdarah teriris. Ada yang hening ditelan miris. Entah apa namanya, mungkin tragis. Seolah langit berhenti bernyanyi menyesali awan gelap yang terganti gerimis. Bukan, ini bukan retoris.
Ini kisah tentang sebuah senja, sehabis hujan di bulan Desember.
Tak ada pelangi, hanya daun-daun basah tergeletak sunyi di sudut lapangan persegi. Di tempatmu berdiri, di tempatku sendiri. Yang ada memang kita namun tiada berbunyi. Aku telah pasi meratapi punggungmu yang beranjak pergi. Cukuplah sudah berelegi, kini hujan kunjung henti. Hanya raga kita saling bertepi, tak berarti sama rasa dalam hati. Perih dan letih begini aku benci.
Namun bias, kepingan ini masih terus menanti.
Aku pulang ke Matraman. Kamu ke Kota Hujan.
Tak pernah ada kita, Depok hanya ruang tanpa makna.