Ini cerita tentang anak-anak manusia yang mencari rumah. Jangan dibaca bila kamu sudah punya, atau lebih baik diam saja, mereka toh hanya bisa menelan ludah.
Seorang laki-laki berlari tergesa, menghitung langkahnya menuju peron kereta senja. Tak banyak waktu tersisa, potongan-potongan rel di depannya kian saling mengejar. Kerumunan yang ramai tak urung memaksa jantungnya berdegup lebih cepat. Terduduk ia sampai di gerbong kereta, menghirup sisa udara yang perlahan berlalu terengah. Sesak sungguh ia mengucap syukur, lega tetes peluhnya, sedetik lagi ia tak datang pupus sudah tiket senja utama di tangannya.
Seorang perempuan terduduk lunglai, basah matanya tersibak oleh rambut panjangnya yang terkulai. Tak kuasa ia mengangkat wajahnya, memandangi gerbong demi gerbong kereta yang menghilang di hadapannya. Kalau saja ia tak memaksa petugas stasiun untuk mengijinkannya masuk ke peron, sudah barang tentu akan ada pertemuan malam itu. Tak elak demikian ia mengucap syukur jua, sesaat lepas bebannya sudah, setidaknya tak perlu ada salam perpisahan bergetar di sela-sela nafasnya.
Diam mereka termangu, tersekat jarak ruang dan waktu.
Laki-laki itu bilang, ia hendak pulang. Tak ada rasa yang tersisa, katanya, di kota ini ia terbuang. Si perempuan hanya mampu terdiam, ia berkeras disini rumahnya. Sepuluh tahun sudah atap mereka saling bersisian, tapak mereka saling bersinggungan; tapi Tuhan bilang masa itu belum saatnya. Mungkin tidak juga sekarang, mungkin tidak juga setahun, sepuluh tahun, atau berpuluh-puluh tahun yang akan datang. Entah apa yang mereka rasakan kala siang terlalu terik dan malam terlalu dingin. Mengapa teduh itu tak mau tinggal sebentar?
Ini cerita tentang anak-anak manusia yang mencari rumah. Ada yakin yang tak urung padam, sebuah titik pertemuan jalan. Pada satu purnama, pasti, mereka akan temukan jalan pulang.