Saturday

Suatu Sabtu di Januari

Matahari sudah hendak bersemburat dari peraduannya, namun tak juga saya beranjak dari tumpukan bantal yang terhampar basah. Sisa tangisan semalam yang berbekas di kedua kantung mata saya telanjangi di depan kaca. Masih menetes diam-diam rupanya, dalam riak hiruk pikuk pagi yang sekuat asa saya acuhkan. Ini lelah namanya, tak ada rasa apa lagi.

Saya terjaga pukul 11, memandangi sudut ruang yang masih gelap. Tak ada hangat, hanya beku memeluk erat. Jam dinding pemberian Eyang yang terpampang ketika saya membuka mata menyadarkan bahwa tempat ini masih tempat yang sama, tempat yang entah berapa jam lamanya saya menghambur air mata. Saya kira saya sudah mati. Saya kira saya akan terbangun di tempat yang lain. Saya kira saya lulus dari ujian ini dan Tuhan panggil saya untuk kembali. Sepenuhnya saya sadar dan bersyukur akan nafas yang masih dapat terhela, namun engah saya luluh lantak.

Ponsel saya bergetar tanda seseorang di sana mungkin masih mengingat saya. Satu persatu kata yang saya baca tak mampu lagi saya artikan. Bagaimana caranya tersenyum? Bagaimana caranya untuk berhenti menangis? Bagaimana caranya untuk bersikap datar ketika saya tahu badai kencang tengah singgah di dalam dada? Saya berbaur dengan diam, betapa suatu konsep dalam hidup manusia yang satu ini sungguh menakutkan. Ya, kebahagiaan.

Bagaimana bentuknya? Menang lotre milyaran rupiah atau liburan keliling dunia bisa jadi kebahagiaan bagi segelintir orang. Atau makan malam dengan lauk seadanya bersama anggota keluarga yang lengkap, mungkin itu juga kebahagiaan bagi yang lainnya, yang entah kapan terakhir saya rasakan. Namun bagi saya, Sabtu ini, berbicara dengan seseorang di sana akan apa yang telah kami katakan dan lakukan, seketika menjadi serangan berbalik yang memporak-porandakan konsep itu. Ya, kebahagiaan.

Saya merenung tanpa seorang pun mengusik jelangnya senja. Enggan sudah rasanya menebak-nebak langit abu-abu, akankah turun hujan atau berangsur cerah. Mungkin kebahagiaan adalah sesuatu yang terlalu berlebihan untuk diminta, sesuatu yang terlalu berharga untuk dibagi, atau sesuatu yang terlalu mahal untuk dimiliki. Bukankah begitu? Atau mungkin ia sudah berpindah karena saya tak kunjung datang menggugah? Ya, kebahagiaan.

Saya sedih, Tuhan... terlampau sedih hingga saya tak mampu menahan tetesan bening yang tak jua reda membanjiri pipi hari ini. Bahkan untuk merintih kemana saya tak lagi ada daya. Adzan Maghrib perlahan bersenandung dari kejauhan seiring doa saya menutup Sabtu terakhir di bulan ini. Tolong, Tuhan, kalau memang kebahagiaan yang Engkau takdirkan tak urung menyapa, tolong, Tuhan... jangan berikan lagi yang lebih sakit dari ini. Saya tak ingin dibawa terbang bila hanya untuk dijatuhkan. Saya takut... saya takut sakit yang saya rasakan kelak akan membuat saya tak lagi sanggup mengucap syukur atas apa yang Kau berikan. Ya, kebahagiaan.


Sabtu, 28 Januari 2012