Intro
kulari ke hutan kemudian menyanyiku
kulari ke pantai kemudian teriakku
sepi, sepi dan sendiri... aku benci
aku ingin bingar, aku mau di pasar
bosan aku dengan penat, dan enyah saja kau pekat
seperti berjelaga jika ku sendiri
pecahkan saja gelasnya biar ramai
biar mengaduh sampai gaduh
ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih
kenapa tak goyangkan saja loncengnya biar terdera?
atau aku harus lari ke hutan, belok ke pantai?
(Ada Apa Dengan Cinta, 2002)
Reffrain
hujan, 11 malam
dan cuma ini yang ada di otak gue, tumpuk-menumpuk nggak ada habisnya;
apakah gue (sudah) ada di jalan yang salah?
apakah gue (sekarang) ada di jalan yang salah?
apakah gue (akan terus) ada di jalan yang salah?
gue nggak tau, dan mungkin only heaven knows
gue capek... sangat capek, terlebih untuk mengulang semuanya dari awal lagi
tapi itu tadi: "apakah gue akan terus ada di jalan yang salah?"
this is one thing I have never guessed before, sejujurnya
gue... mungkin akan terlihat sangat tolol untuk sadar setelat ini, after all this time
I mean, hidup normal, bisa kan?
memang, semua orang punya rule dan hak pribadi yang nggak boleh diganggu gugat
tapi dengan begitu, bukan berarti 'the outsider' itu nggak ada artinya kan?
apa kabarnya orang-orang idealis yang nggak pernah mampu jadi mayoritas?
well, ini cuma tentang masalah pilihan
kita memang hidup di dunia nyata, dituntut untuk menjadi realistis
tapi jujur, gue nggak mampu untuk menutup mata di jalan yang udah gelap
karena realita nggak pernah bisa beli apapun,
termasuk hati nurani
Bridge
"lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."
(Soe Hok Gie)