Bapak yang terhormat.
Saya berputar perlahan, dengan nol rupiah di kantong dan peluh emosi yang tertahan. Diva dan Ais menunggu di belakang. Teman saya dan temannya, yang berhati sangat peduli. Di antara yang menutup mata, di Jakarta, masih ada yang tersisa dari sebagian. Mereka pulang, dan saya hampa. Ayah saya marah, pasti. Tapi bukan itu yang saya pedulikan. Di sini, di dalam sini, ada yang terketuk meminta untuk dibuka.
Kuningan panas, Menteng meradang. Selayar pandang terpampang di depan mata saya, berdesakan di antara speedometer yang menunjuk pelan di balik dashboard. Tahukah Anda apa yang bocah Taman Kanak Kanak teriakkan ketika Ibu Guru mereka bertanya, "Apa cita-cita kalian, anak-anak?" Mereka bersorak-sorai menjawab, "Dokter, Bu Guru!" Tahukah Anda, saya pernah menjadi bagian dari mereka semua? Bayangan wajah orang tua, ketukan kaki sepatu teman-teman, gedung tua Sekolah Dasar, lapangan upacara Sekolah Menengah Pertama, dan taman air mancur Sekolah Menengah Atas, seketika semua berlarian di layar itu. Ada bagian yang hilang, sesuatu yang terlewatkan, sesuatu yang harusnya saya lakukan. Mereka bilang ini jalan hidup, tapi buat saya, ini pengecewaan.
Bapak yang terhormat.
Mungkin ini klise, mungkin juga berlebihan. Tapi saya merenung disini. Merenung akan kata-kata bijak yang baru saja saya dengar dari Ibu saya, ketika beliau bertanya apa yang terjadi pada saya saat saya menginjak rumah dengan wajah masam. Tidak ada kalimat kasar, tidak ada nada membentak. Yang ada hanya senyuman halus, katanya, "Apa yang akan kamu perbuat setelah hari ini?"
Saya membuka catatan kecil saya sembari terkejut dengan kenyataan betapa seringnya saya berganti tujuan. Saya seperti hilang, oleh satu dan dua hal. Kemana nanti saya akan pergi setelah selesai sarapan, atau apa yang akan ditulis anak saya ketika ia mengisi identitas rapotnya di bagian pekerjaan ibunya? Tapi hari ini, saya menemukannya dari kebimbangan.
Bapak yang terhormat.
Ini hal kecil, yang biasa Anda lakukan setiap hari. Buat Anda, juga buat kaum berdasi yang melanggar jam 3 in 1. Saya jelas bukan Anda, apalagi mereka. Saya baru lulus SMA, dengan ijazah yang belum diurus dan ospek yang belum dimulai. Tapi berkat Anda, saya sudah tahu apa yang akan saya lakukan setelah toga itu berada di atas kepala saya. Terima kasih telah membuka mata saya untuk melihat apa yang terjadi di sini, di balik kemudi ini. Ini tugas Anda, ini tugas kita bersama. Apakah kita masih kekurangan banyak satu set seragam coklat dan peluit bertalkom untuk berdiri di tempat seharusnya mereka berdiri? Jangan terduduk diam, masih ada yang bisa kita lakukan.
Terkadang memang, hidup itu sangat mengejutkan. Saya, Anda, kita semua, tidak pernah tahu cara apa yang ditempuh Tuhan untuk menyampaikan kata-kataNya.
Karunia Khairunnisa.
Saya berputar perlahan, dengan nol rupiah di kantong dan peluh emosi yang tertahan. Diva dan Ais menunggu di belakang. Teman saya dan temannya, yang berhati sangat peduli. Di antara yang menutup mata, di Jakarta, masih ada yang tersisa dari sebagian. Mereka pulang, dan saya hampa. Ayah saya marah, pasti. Tapi bukan itu yang saya pedulikan. Di sini, di dalam sini, ada yang terketuk meminta untuk dibuka.
Kuningan panas, Menteng meradang. Selayar pandang terpampang di depan mata saya, berdesakan di antara speedometer yang menunjuk pelan di balik dashboard. Tahukah Anda apa yang bocah Taman Kanak Kanak teriakkan ketika Ibu Guru mereka bertanya, "Apa cita-cita kalian, anak-anak?" Mereka bersorak-sorai menjawab, "Dokter, Bu Guru!" Tahukah Anda, saya pernah menjadi bagian dari mereka semua? Bayangan wajah orang tua, ketukan kaki sepatu teman-teman, gedung tua Sekolah Dasar, lapangan upacara Sekolah Menengah Pertama, dan taman air mancur Sekolah Menengah Atas, seketika semua berlarian di layar itu. Ada bagian yang hilang, sesuatu yang terlewatkan, sesuatu yang harusnya saya lakukan. Mereka bilang ini jalan hidup, tapi buat saya, ini pengecewaan.
Bapak yang terhormat.
Mungkin ini klise, mungkin juga berlebihan. Tapi saya merenung disini. Merenung akan kata-kata bijak yang baru saja saya dengar dari Ibu saya, ketika beliau bertanya apa yang terjadi pada saya saat saya menginjak rumah dengan wajah masam. Tidak ada kalimat kasar, tidak ada nada membentak. Yang ada hanya senyuman halus, katanya, "Apa yang akan kamu perbuat setelah hari ini?"
Saya membuka catatan kecil saya sembari terkejut dengan kenyataan betapa seringnya saya berganti tujuan. Saya seperti hilang, oleh satu dan dua hal. Kemana nanti saya akan pergi setelah selesai sarapan, atau apa yang akan ditulis anak saya ketika ia mengisi identitas rapotnya di bagian pekerjaan ibunya? Tapi hari ini, saya menemukannya dari kebimbangan.
Bapak yang terhormat.
Ini hal kecil, yang biasa Anda lakukan setiap hari. Buat Anda, juga buat kaum berdasi yang melanggar jam 3 in 1. Saya jelas bukan Anda, apalagi mereka. Saya baru lulus SMA, dengan ijazah yang belum diurus dan ospek yang belum dimulai. Tapi berkat Anda, saya sudah tahu apa yang akan saya lakukan setelah toga itu berada di atas kepala saya. Terima kasih telah membuka mata saya untuk melihat apa yang terjadi di sini, di balik kemudi ini. Ini tugas Anda, ini tugas kita bersama. Apakah kita masih kekurangan banyak satu set seragam coklat dan peluit bertalkom untuk berdiri di tempat seharusnya mereka berdiri? Jangan terduduk diam, masih ada yang bisa kita lakukan.
Terkadang memang, hidup itu sangat mengejutkan. Saya, Anda, kita semua, tidak pernah tahu cara apa yang ditempuh Tuhan untuk menyampaikan kata-kataNya.
Karunia Khairunnisa.