Friday

Cerita



Gue punya temen. Sebut aja Puspa. Bukan, bukan Dinda Puspa Handika. Udahlah, sebut aja Puspa.

Gue kenal dia 3 tahun lalu. Anaknya rame. Gak bisa diem. Setiap kali les, dia selalu berhasil ngajak gue ngobrol ketimbang merhatiin guru. As a result, sekelas cuma kita doang yang dapet IPS. It's my fault kok, yang lain cuma variabel bebas. Tapi belakangan, itu sangat membuat gue bersyukur karena banyak hal yang mungkin gak bisa gue dapetin seandainya gue gak terdampar disini. Oh, fyi, sebenernya dia bisa masuk IPA deng. Dia cuma ikut-ikutan gue kayaknya. HA ya enggaklah.

Back to topic. Dulu, dia sekelas sama temen deket gue. Mereka sempet terlibat satu masalah ribet, yang intinya gak jauh-jauh dari cowok. Kalo sekarang diinget-inget lagi, she said that's not worth it, banyakan ruginya. Temen gue cerita kalo dia yang salah-lah, begini-lah, begitu-lah, blablabla akhirnya mereka perang dingin sampe sekarang. Gue, pada saat itu, jelas berpihak sama temen gue. Subjektif emang, apalagi gue gak begitu kenal sama dia. Mungkin gara-gara opini publik yang udah terlanjur beredar tentang dia. Dan ya, I ever heard that she talked me, once. Dari situ udah cukup bikin gue ngerasa tau harus bersikap gimana ke dia. As time goes by, Tuhan mempertemukan kita lagi. Dengan keadaan yang udah sangat jauh berbeda, ternyata ada beberapa persamaan yang bikin kita bisa nyambung kayak dulu. Masalah dengan orang yang sama, misalnya. "I told you before", itu yang selalu dia bilang. Awalnya gue ngerasa aneh, tapi no wonder, dia cukup bersikap baik sama gue. Dan itu yang bikin gue bisa bilang; lo baru boleh nilai orang setelah lo kenal sama dia.

She's not an introvert person. Tapi gue ngerasa, she's kinda built her own wall to protect herself. Banyak yang bilang itu fake, atau apalah sebutannya. Nggak kok, that's the real her. Dan menurut gue, gak ada yang lebih berhak ngerubah diri lo selain lo sendiri. Masalah orang suka atau nggak, mau nerima atau nggak; it's their own business. Justru disitulah kita bisa nemuin, yang mana yang bener-bener bisa disebut temen. Orang-orang yang tulus nerima kita apa adanya, bukan karena ada apanya.

And here is my point. Minggu ini, ada beberapa hal yang bikin dia ngerasa down. Siklus masalah yang kayaknya terus berputar disitu, yang gue yakin semua orang pasti pernah ngerasain yang kayak gitu. She came to me, told me how does she feel... and she cried. I calmed her, said to her that everything's gonna be alright. She couldn't endure, that's what she said. Tapi gue pernah ada di posisi dia, dan gue tau... she's stronger than me. She smiled at last, tho I know that it was the real fake smile. Yes, she smiled. And however... I have learned much things from her.


I survived. She survived. We survived.


Itu ending yang gue tau, di hari-hari terakhir sekolah. I felt so much grateful, I had so much chances to meet some different people who taught me so many life lessons. Dan mungkin, butuh lebih dari 3 tahun untuk belajar itu sendirian.



ps: if you already know her, yes, she is my friend.